Ketika Hukum Tak Lagi Sakral: Mengurai Survei LSI tentang Krisis Kepercayaan Publik
Hanya 35% publik puas dengan penegakan hukum menurut survei LSI. Simak analisis krisis kepercayaan hukum dan langkah perbaikan mendesak.

Bayangkan sebuah negara tanpa hukum yang dipercaya rakyat. Apa yang terjadi? Bisa dipastikan kekacauan merajalela, dan masyarakat memilih jalan mereka sendiri. Ironisnya, kondisi ini mulai terasa di Indonesia. Berdasarkan survei terbaru dari LSI, hanya 35% masyarakat menilai penegakan hukum sudah baik. Sisanya, lebih dari separuh, meragukan atau bahkan pesimis. Pertanyaannya: mengapa hukum yang seharusnya menjadi penopang keadilan justru dianggap rapuh? Mari kita telusuri masalahnya secara lebih dalam, karena masa depan bangsa ditentukan oleh tegaknya hukum hari ini.
Kenyataan Pahit dari Survei
LSI merekam denyut nadi masyarakat soal hukum, dan hasilnya jelas: kepercayaan publik rendah. Publik menilai hukum di Indonesia masih dipenuhi ketidakpastian. Dari kasus korupsi kelas kakap yang mandek, sampai kriminal kecil yang dihukum berat, ketimpangan begitu nyata.
Kondisi ini membuat hukum tidak lagi dianggap sakral, melainkan bisa “dinegosiasikan” dengan kekuasaan atau uang.
Akar Masalah: Kenapa Hukum Gagal Dipercaya?
-
Hukum sebagai Alat Kekuasaan
Banyak kasus besar menunjukkan hukum cenderung membela pihak berkuasa. -
Minim Akuntabilitas
Proses hukum yang tidak transparan menimbulkan spekulasi publik. -
Keterbatasan Kapasitas Aparat
Masih ada aparat yang tidak profesional, kurang integritas, dan mudah disuap.
Efek Domino bagi Kehidupan Publik
-
Rakyat Makin Apatis
Banyak orang akhirnya menganggap percuma melapor ke polisi atau menempuh jalur hukum. -
Meningkatnya Potensi Konflik Sosial
Karena hukum lemah, masyarakat bisa main hakim sendiri. -
Demokrasi Terguncang
Tanpa hukum yang kuat, demokrasi hanya formalitas.
Solusi: Membangun Ulang Fondasi
-
Kemandirian Lembaga Hukum: hentikan intervensi politik.
-
Digitalisasi Proses Hukum: kurangi celah pungli lewat sistem online yang transparan.
-
Pengawasan Independen: libatkan masyarakat sipil untuk mengawasi aparat hukum.
-
Keteladanan dari Atas: elite politik harus menunjukkan bahwa mereka tunduk pada hukum.
Penutup
Hukum adalah pilar utama sebuah negara. Jika survei LSI menunjukkan hanya 35% masyarakat percaya pada penegakan hukum, itu tanda bahaya serius. Tapi bukan berarti tak ada harapan. Dengan komitmen politik yang tulus, perbaikan sistem, dan partisipasi masyarakat, hukum bisa kembali sakral: menjadi penjaga keadilan, bukan sekadar alat kepentingan. Apakah kita siap memperjuangkannya bersama?
What's Your Reaction?






